Senin, 14 Mei 2018

TERCYDUK

Bel tanda istirahat berakhir telah berbunyi. Hmm.. satu jam lagi waktuku  di kelas 7C. Sebelum istirahat siswa sudah diberi tugas mengerjakan latihan di buku paket. Jadi biarlah kubiarkan mereka sebentar mengerjakannya. Lima menit kemudian aku baru masuk kelas. Tidak seperti biasanya, kelas agak ribut. 

“Ada apa ini?” tanyaku di dalam hati.
Belum juga aku duduk, seorang siswi bernama Ayu berteriak, “Pak, pulpen saya hilang!”
Ya beginilah rasanya kalau mengajar kelas 7. Terkadang sifat mereka masih kekanak-kanakan. Untuk urusan kecil yang menurutku sepele akan menjadi besar untuk mereka. Rupanya tadi mereka sedang mencari pulpen yang hilang. Aku harus sabar menghadapi mereka. 
“Mungkin kamu lupa menaruhnya,” kataku tenang. 
“Saya kan tadi lagi ngerjain tugas, terus ke wc dulu. Eh pas pulang, pulpen saya hilang Pak.”
“Iya Pak, saya saksinya. Tadi saya nemenin dia ke wc’ ujar temannya, Cita . 
“Coba tadi yang ambil pulpen tolong kembalikan, ucapku sambil tersenyum. 
“Ah..paling juga ada yang iseng,” kataku dalam hati.

“Ga akan ada yang ngaku Pak!” ujar seorang siswa.
“Iya Pak,” jawab temannya yang lain.
“Pak pulpen saya juga hilang.” 
“Iya Pak saya juga.”
Kelas menjadi gaduh.
“Sabar...,”  kataku, “coba ada berapa orang yang kehilangan pulpen?” tanyaku.
Tak dinyana ternyata ada enam orang yang mengaku kehilangan pulpen. Kelas kembali ribut.
Wah... alamat terganggu nih kegiatan belajar mengajarku. Muncul dilema yang banyak dihadapi oleh guru. Mau meneruskan materi atau menyelesaikan masalah ini. Tapi, bukankah ini adalah bagian dari belajar juga. Ini bagian dari membangun karakter yang harus aku pahamkan juga kepada anak-anak. Belajar ilmu itu tidak hanya kognitif saja. Justru belajar tentang karakter jujur, mau bertanggung jawab ini yang menurut para pakar pendidikan yang harus ditanamkan kuat-kuat kepada para siswa. 
Timbul ideku untuk membuat suasana seperti di sebuah pengadilan.

“Hei... Kalian mau menemukan orang isengnya tidak?”
“Mau Pak!”
“Kalau begitu jangan ribut ya..!”
Akhirnya suasana terkendali. Murid-muridku agak tenang.
Aku duduk di meja guru sambil memegang penghapus white board. Aku katakan bahwa aku akan menjadi hakim sekaligus jaksa dalam pengadilan kelas.
“Tadi kamu lihat siapa yang mengambil pulpen?” Tanyaku kepada anak yang pertama mengaku kehilangan.
“Nggak sih Pak, tapi kata temanku Valen, si Rafi yang ambil.”
“Betul begitu Valen?” 
“Tadi sih gak liat. Kemarin dia yang ambil pulpen aku Pak.”
“Itu kan kemarin. Aku kan udah ngasih lagi pulpennya ke kamu!” kata Rafi membela diri.
“Ya udah rafi kamu maju ke depan kelas,” kataku sambil tersenyum.
Akhirnya dengan sedikit bujukan dia mau maju ke kelas.
Kelas kembali agak ramai
“Harap tenang, pengadilan akan dilanjutkan,”  kataku sambil mengetuk meja dengan penghapus tadi.
Ruangan tenang lagi.

“Selain Rafi, siapa lagi yang kalian curigai?” tanyaku.
Akhirnya muncul beberapa nama disebutkan.
Ketika namanya tersebut Onsu berkata, “Itu sih fitnah Pak..!”
“Kalau begitu tenang saja, nak. Kamu berhak membela diri,” kataku.
Satu hal yang perlu dicatat di dalam peristiwa ini bahwa mereka tidak menunjukkan wajah yang tegang. Ini yang aku mau. Siapa pun yang ada di dalam ruangan itu tidak boleh merasa ditekan. Ini tujuan dari permainan di pengadilan ini.
Setelah enam siswa yang disebut berdiri di depan kelas, mulailah tugasku sebagai seorang jaksa sekaligus detektif.
“Sule, jelaskan kepada teman-temanmu mengapa kamu bukan pencuri pulpen Ayu,” kataku.
Sambil cengar-cengir Sule menjawab, Itu udah lama Pak. Udah dikembaliin. Ayu-nya aja yang masih dendam.”
“Betul ayu begitu?”
“Tapi kan itu minggu yang lalu.”
Ayu tersenyum malu.
“Sule kamu boleh kembali ke tempat duduk,” kataku, “Andre tolong jelaskan!”
“Tadi saya cuma lihat-lihat wadah pensil Raisa Pak.”
“Hu....modus!!”  teriak temannya.
“Ih bener Pak.”
“Tenang semua,” kataku kembali sambil mengetukkan penghapus ke meja.
“Raisa, betulkah  Andre hanya melihat-lihat tempat pensil kamu?”
“Iya Pak, tapi kemarin dia gak ngembaliin pulpen yang dia pinjem.
“Kapan?”
“Kemarin.”
“Enggak.”
“Iya bener”
Hadeeuh... dasar anak anak aada saja debat kusirnya
“Bagaimana menurut kalian apakah Andre masih bisa dicurigai?”
“Masih Pak......!!” jawab teman-temannya.
“Ya sudah. Andre kamu berdiri dulu di depan kelas.”
“Hu...... “ teriak temannya.
“Semua harap tenang,” kataku.
Ada dua orang yang aku suruh duduk kembali ke kursi karena alasan yang aneh. Mereka para penuduh ingin dua temannya maju ke depan kelas karena keduanya adalah anak pendiam, jarang maju ke depan kelas. Itu diketahui berdasarkan interogasiku dengan mereka dan yang pihak menuduh. 
“Ingat ya.. menuduh tanpa dasar itu sama dengan memfitnah. Ingat juga fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Artinya memfitnah itu derajatnya lebih jelek daripada orang yang membunuh. Membunuh adalah perbuatan tercela. Akan tetapi memfitnah lebih tercela lagi,” kataku sedikit berceramah.

Singkat kata tertuduh mengerucut pada dua orang, Rafi dan Syafri. Melalui beberapa pertanyaan pancingan, akhirnya Rafi minta maaf dan berjanji akan mengambalikan pulpen yang ia pinjam.
Tinggal satu lagi Syafri. Sebelumnya aku sudah curiga kepadanya karena dia anak yang agak banyak iseng.
“Apakah akan ada yang mau menjadi saksi untuk Syafri?” tanyaku.
Satu orang siswa mengangkat tangan. “Saya Pak.”
“Oh, silakan maju ke depan.”
“Ini Pak,” katanya sambil menyerahkan sekitar tujuh buah pulpen. 
“Ini punya siapa?”
“Ini pulpen yang diambil Syafri dari teman-teman.”
“Kok, kamu tahu?”
“Soalnya saya kan teman ssebangkunya. Pulpen saya juga pernah hilang. Tapi besoknya ada lagi. Tadi saya curiga, jadi saya buka tasnya.”
“Oh bagus nak, berarti kamu berani menegakkan kebenaran.”
“Syafri, sekarang bagaimana jawabanmu setelah mendengar kata-kata temanmu?”
“Hehe.. Iya Pak iseng.”
“Iseng? Kamu senang lihat anak perempuan panik karena kehilangan pulpen ya..”
“He..he.. jawabnya sambil tertunduk malu.”
Akhirnya Syafri tercyduk, begitu istilah generasi zaman now. Mulailah aku membahas tentang perbuatan-perbuatan  tercela yang melanggar norma adat dan agama. Tetapi ucapanku ditujukan untuk semua siswa. Jadi tidak ada yang merasa disudutkan. Semoga dengan demikian semua paham dengan konsep kejujuran yang aku jelaskan.
“Sekarang sebagai konsekuensi dari kejahilan kamu, apa yang bisa kamu lakukan,” tanyaku.
“Joget Pak!!” teriak teman-temannya.
“Jangan Pak, push up aja ya,” jawab Syafri memelas.
“Boleh... mau berapa kali?”
“Sepuluh Pak,”
“Jangan Pak, terlalu sedikit.  Tiga puluh kali aja...” teriak teman-temannya.
“Iya deh.. saya mau 30 kali push up.”
Akhir cerita, saya menjelaskan bahwa perlunya pemikiran jernih sebelum seseorang bertindak. Jangan karena iseng, orang tidak mempercayai kita. Sekali lancung di ujian, seumur hidup orang tidak akan percaya, begitu kata pepatah kita. Pembicaraan pun meluas sampai dengan hukum agama dan nilai-nilai di masyarakat. 
Kasus ditutup. Bel pergantian jam berdentang. Satu pembelajaran telah aku tanamkan meskipun materi pelajaran jadi tersendat. Semoga mereka mengambil hikmah dari kasus ini.
11/5/2018

Selasa, 08 Mei 2018

SALAH KOK BANGGA

Kadang-kadang kita sering melihat orang yang berbuat salah dengan sengaja dan terkesan bangga dengan kesalahannya. Ketika ketahuan bolos lalu ditegur oleh guru, dia hanya cengar-cengir dan kelihatan tidak merasa bahwa kelakukannya itu salah. Saat diingatkan orang tua agar tidak sering bermain PS, dia malah melawan dengan kata-kata yang lantang. Atau di depan teman-temannya, dia menceritakan peristiwa yang memperlihatkan kejagoan dia saat melanggar aturan sekolah atau aturan masyarakat. 
Seharusnya kita sadar bahwa salah itu salah, dan benar adalah benar. Kemudian, begitu tahu bahwa kita bersalah, seharusnya kita mohon maaf kepada Tuhan kita dan orang yang kita sakiti, misalnya orang tua kita. Mungkinkah kita lupa bahwa ada konsekuensi dari semua perbuatan yang dilakukan? Bukankah kita sadar bahwa setiap perbuatan manusia dicatat oleh malaikat Rokib dan Atid? Apakah kita sudah yakin bahwa tubuh kita kuat menghadapi api neraka? Semoga tulisan ini dapat menjadi renungan kita semua.

Bagi Para Pemakai Sepatu Kets


Sepatu kets dengan langkah-langkah  kecil
berinjit-injit, menyelinap sedikit ganjil
Berjalan pelan seperti air di parit depan sekolahku
berkelok sedikit dan tiba-tiba mengejutkan dengan lembut

Dengan sedikit siasat aku terpukau
sampai aku terpaku kaku
oleh indah lilin menyala di mata mereka
Tulus senyum-senyumnya begitu terasa
Bergoyang lucu bagai kuncup-kuncup yang memekar
membuatku kangen dan trenyuh
sampai-sampai sore menjadi meluluh

Membawakan  harapan di hadapanku
Kutiup dan kubisikkan doa
keinginan memesona berkelip-kelip
semoga tercapai harapanku dan mu

4 Oktober 2017

BROADCAST DARI NEGERI SEBELAH

Sebelumnya kami mohon maaf kepada Bapak, Ibu, Kakak, Adik, Om, Tante, Opa, dan Oma yang membaca broadcast ini karena telah terganggu dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Sudah lama kami pegang rapat pikiran ini karena kami takut bos-bos kami akan marah. Akan tetapi, semakin dipendam, semakin besar dorongan untuk memuntahkannya.

Perkenalkan, kami para pengasah berlian dari negeri sebelah. Tugas kami adalah mengasah intan pesanan Bos Besar menjadi berlian berkelas dunia. Kami dipimpin oleh bos bos kecil yang mengawasi kualitas pekerjaan kami. Tugas kami adalah memotong dan mengasah intan mentah yang didapatkan dari pemesan untuk dijadikan batuan mulia yang mahal harganya 

Berlian dikenal dari dahulu sebagai batuan mulia yang paling dicari para kolektor. Hal ini dapat dimaklumi karena berlian berbeda dari batu mulia lainnya. Tingkat kekerasan batuan ini lebih dari batuan jenis lain.  Dari http://hargabatu.com/batu-diamond-berlian-intan, kita tentu paham bahwa kualitas fisik batu berlian dipengaruhi oleh ikatan yang kuat antar-kristal transparannya. Hal  ini menghasilkan struktur kubik tiga dimensi yang sangat kuat. Pola kristal kubik batu berlian juga benar-benar simetris, yang memungkinkan untuk membiaskan cahaya ke segala arah dengan kecepatan yang sama (pembiasan tunggal). Hal inilah yang menjadikan permata sangat mahal. Seorang ahli berlian menentukan harga dari kadar berlian yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, tidak semua bahan mentah yang didapatkan  mengandung butiran berlian.

Sebenarnya pekerjaan ini menyenangkan sekali. Kami bangga jika batu  yang kami  potong dan asah itu mampu memperlihatkan kejernihan, kebeningan, sesuai dengan standar yang disyaratkan Bos Besar. Memang pekerjaan ini membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Diperlukan pula pengalaman yang cukup lama untuk dapat membuat berlian dengan kualitas luar biasa. Kami biasa memperlakukan batuan-batuan itu seperti anak sendiri. Sedikit saja salah dalam pemotongan, kilaunya akan hilang. Lalu bagaimana kalau permata yang kami hasilkan tidak sesuai dengan standar bos? Selalu kami yang disalahkan. Memang kadang kala ada beberapa orang di antara kami yang sedikit salah dalam proses mengasah. Kesabaran dan ketelitian mereka kadang  kurang. Hasilnya permata itu menjadi cacat dan dihargai murah di bawah standar. Sebaliknya, banyaknya berlian berkualitas super tentu akan membuat bos besar kami tertawa lebar. Dunia akan menoleh pada keberhasilan negeri kami dalam mengolah berlian. Terngiang dalam telinga betapa pentingnya peningkatan indeks kualitas dan kuantitas berlian olahan kami. Apakah kami akan bertepuk dada dengan keberhasilan ini? Tidak. Kami hanyalah orang-orang biasa yang bekerja seperti biasa.

Atas nama sertifikasi pengasah intan, dunia berputar lebih cepat. Kami diharuskan menghasilkan permata dengan kualitas yang terbaik. Padahal, kami tidak dapat membuat berlian jika batuan mentah yang didapat berkualitas rendah. Pada kenyataannya pun hanya sekitar 20% saja dari semua deposit berlian di bumi yang bernilai permata. Berdasarkan pengalaman, kami tahu mana berlian yang berkualitas atau yang tidak. Jika kami dibebaskan untuk menentukan mana permata, safir, merah delima, batu kali, atau kerikil sekalipun,  berdasarkan sifat alamiah bongkahan batuan mentah yang didapat, kami akan lebih siap mengolahnya.  Yang terhormat Bos Besar atau para Bos Kecil, permohonan kami hanya satu, jangan mengarahkan dan memaksa kami selalu menghasilkan permata dari bahan batuan jenis apapun.

Mungkin di negeri Bapak, Ibu, Kakak, Adik, Om, Tante, Opa, dan Oma dikenal istilah Ujian Nasional.  Kalau tidak salah dengar, di negeri Anda semua banyak yang mempertanyakan validitas dari hasil tes tersebut. Kami pun mengalami hal yang sama. Atas nama peningkatan kualitas para pengasah berlian, kami pernah diuji profesionalitas. Dengan ujian yang hanya sehari bisa diketahui kualitas kami. Hasilnya? Sebagian besar dari kami disebut tidak kapabel. Kami tidak pernah mempertanyakan proses dan hasil uji tersebut. Kami tetap manut, nurut  dengan apapun yang diminta Bos Besar. Kami hanya bisa mengintrospeksi diri. Jangan-jangan karena terlalu asyik dengan pekerjaan rutin, perkembangan dunia luar terlupa, dan bertekad untuk mengubahnya.

Di tengah semangat untuk memperbaiki diri, ada hal mengherankan yang terjadi di antara para Bos Besar. Kabarnya, dana untuk kegiatan meng-upgrade kami tersendat karena ada perbedaan visi di antara para pembuat kebijakan tersebut. Baru sebagian kecil di antara kami yang dipanggil untuk mengikuti kegiatan tersebut. Kami menyebutnya kegiatan Pembelajar Mengasah Intan. Atas nama ketiadaan dana, saat ini masih banyak  di antara kami yang belum “dipandaikan”. Dalam perbincangan interen sedikit nyinyir, kami berkesimpulan tidak ada koordinasi di antara para Bos Besar dalam membuat kebijakan sehingga proses kegiatan itu tersendat. Apakah tidak ada perbincangan di antara beliau-beliau sebelumnya yang menggambarkan bahwa kegiatan tersebut adalah hasil perencanaan yang matang dan cermat yang dipersiapkan jauh hari sebelumnya?  Apakah tidak ada desain besar jangka panjang terintegrasi yang menjadi benang merah untuk setiap kebijakan yang dikeluarkan? Seperti munculnya sebuah ilham atau wangsit, seringkali program yang harus dijalani di negeri kami datang dan pergi begitu saja. Kami hanya bisa membayangkan tahun ini akan ada “UN” lagi. Baru sedikit di antara kami yang sudah diremedial (maaf kami ambil istilah dari negeri Bapak, Ibu, Tante, Om). Itu pun belum semua kompetensi (maaf kami ambil lagi istilah dari negeri Adik, Kakak, Oma, Opa) yang diperbaiki sedangkan kami belum semuanya dipanggil untuk melakukan perbaikan.  Pasti pening rasanya belum diremedial sudah harus diuji pula. Semoga untuk ke depannya jangan banyak anggota negeri kami  yang stres dan terkena sakit jantung akibat terkaget-kaget oleh kebijakan baru dan impian para bos besar. Aamiin...

Para Guru Super, Menulislah!

Sekitar sebulan yang lalu, saya mengikuti pelatihan menulis yang diselenggarakan oleh Kagum (Komunitas Guru Menulis dan Membaca) Bogor. Tujuan awalnya  adalah untuk menemukan komunitas yang beranggotakan orang-orang yang senang menulis. Dengan demikian, saya dapat menimba ilmu sekaligus berbagi pengalaman tentang hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan menulis. Alhamdulillah, dalam empat kali pertemuan, saya dapat menghilangkan keraguan saya dalam menulis. Saya menjadi lebih percaya diri dalam menulis walaupun belum tentu tulisan saya dianggap bagus oleh orang lain. 

Kami memiliki satu kesamaan yaitu kami sama-sama gemar akan kata menulis. Mulai dari orang yang ingin tahu tentang proses menulis, dari suka membaca tulisan orang lain, senang menulis namun tidak yakin bahwa tulisannya layak dibaca, sampai dengan orang yang dulu pernah menulis namun terlupakan oleh kesibukan. Kami saling memberi semangat dan memberi masukan terhadap tulisan-tulisan yang dibuat.

Ada satu hal yang menarik dari kegiatan yang saya ikut saat itu. Pertama, dari delapan belas peserta pelatihan, guru bahasa Indonesia yang mengikuti kegiatan itu tidak sampai tiga puluh persennya. Kedua, dari tiga mentor kegiatan itu hanya satu orang yaitu Pak Esep, ketua MGMP Kabupaten Bogor yang merupakan guru bahasa Indonesia. Pertanyaannya, di mana  keberadaan guru-guru bahasa Indonesia?

Kesibukan dalam mengajar mungkin menjadi faktor penyebab sedikitnya guru bahasa Indonesia yang mengikuti kegiatan pelatihan menulis itu. Program Guru Pembelajar, mentoring Kurtilas, menjadi pembimbing ekstrakurikuler, atau kegiatan lain juga menambah padatnya kesibukan guru.  Harus diakui, bahwa sekarang guru banyak yang sangat super sibuk. Apalagi, di musim hujan seperti ini, rasanya berat sekali mengikuti kegiatan menulis yang dimulai dari jam 13.45 sampai dengan sekitar jam 16.00. 

Secara iseng saya membuka grup MGMP ini. Kalau tidak salah, percakapan (chat) yang biasa kita baca berisi obrolan biasa, tegur sapa sesama anggota, hal lain yang berhubungan pekerjaan sebagai guru, atau mengirim ulang tulisan orang lain (mem-forward) yang bermanfaat. Tidak ada yang salah dengan itu semua. Namun, ada baiknya juga jika kita menuliskan ide-ide yang membuat kita resah melalui grup WA ini. Inilah sarana kita untuk menulis. Kita bisa menulis cerpen, puisi, pantun, opini, feature, atau apa saja yang berhubungan dengan menulis, apalagi sangat berhubungan dengan kegiatan mengajarkan bahasa Indonesia kepada siswa. Para pembacanya bisa memberikan komentar dalam bentuk ikon senyum, tepuk tangan, atau komentar tulis yang bermanfaat atau menambah kepercayaan diri penulisnya. Dengan demikian, akan timbul interaksi yang dinamis antar-anggota MGMP. Kita semua akan gemar menulis.

Guru bahasa Indonesia memiliki persenjataan yang lebih baik dalam menulis jika dibandingkan dengan guru-guru lain.  Ketika orang lain masih terbata-bata memahami aneka definisi bentuk tulisan, seorang guru bahasa Indonesia sudah lebih dahulu tahu tentang hal itu. Jika dianalogikan dengan karya-karya komik Marvell, Kita adalah guru-guru yang super seperti halnya Superman dianugerahi kemampuan untuk terbang dan tenaga super, kita sudah memiliki dasar keilmuan tentang menulis, EYD, gaya bahasa, jenis-jenis tulisan,  dan lain-lain.  Tinggal ada kemauan, beraneka ragam tulisan akan mengalir dengan indah. 

Tulisan ini bukan berarti ada pengkotak-kotakkan dalam menjadi penulis. Siapa pun berhak untuk menulis. Akan tetapi, akan lebih terasa elegan ketika lebih banyak guru bahasa Indonesia yang lebih aktif menulis. Memang membutuhkan latihan untuk dapat menghasilkan karya yang berkualitas. Namun, jika tidak dicoba, mau kapan kita menghasilkan karya yang bagus. Sarananya sudah ada yaitu grup WA ini.

Saya yakin banyak penulis andal di grup ini. Buktinya, ada yang sudah menerbitkan buku karya sendiri atau tulisannya dipublikasikan oleh koran, misalnya Bu Endang, Bu Neli, atau guru-guru lain yang belum terpantau hasil karyanya. Barangkali, ada baiknya belia-beliau ini memberikan pencerahan tentang proses kreatif mereka dalam menghasilkan sebuah karya dan menularkan kemampuannya kepada kita semua.

Terakhir, satu kata untuk rekan semua “Para Guru Super, Menulislah”.

IN MEMORIAM

Perbincanganku dengan waktu terlalu mengasyikkan
Kadang meninggi, melebar, meluas, lalu akhirnya menukik
Lalu mengiris-iris garis rajah di tangan

Kisah dalam kartu pos berloncatan
Berhamburan membentuk ikatan yang lentur
Kau pun terbangun
“Lihat, aku bisa terbang sekarang” ucapmu riang
Sambil melompat-lompat di atas trampolin
Bermain dalam aneka pelangi
(Ya bidadariku, kini engkau punya sayap kecil)

Dan lukisan dalam lekuk-lekuk pilu di dahi
Berubah menjadi jalinan bola bekel
Melenting-lenting mendekatkan masa lalu dan kini
Fantastis

Gerimis ini sangat menyenangkan
Seperti dulu, kau kugendong meniti harapan dan ketakutan

Sementara kita terus berjalan
Sepi melolong tinggi
Purnama itu terlalu indah untuk kita

13 Mei 2011

GURU YANG GAGAP ZAMAN

Menjadi profesional adalah tuntutan pemerintah kepada guru-guru saat ini. Sejak tunjangan sertifikasi digulirkan, banyak tuntutan dibebankan kepada guru.  Berbagai macam cara digunakan untuk meningkatkan kemampuan guru. Mulai dari program Guru Pembelajar (GP) sampai dengan pelatihan-pelatihan lain diselenggarakan pemerintah untuk meningkatkan kompetensi para guru. Ada guru yang menyambut baik, ada juga guru yang apatis dengan situasi ini. 
Ada energi positif yang timbul dengan kegiatan ini. Sekitar dua puluh tahun ke belakang, kita jarang mendengar atau tahu ada guru yang dikirim untuk mengikuti pelbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas. Sekarang, banyak guru yang meninggalkan tugas utamanya di sekolah yaitu mengajar karena besarnya tuntutan tersebut. 

Pertanyaan utama yang muncul adalah mengapa banyak guru yang dianggap kurang profesional. Hasil Uji Kompetensi Guru yang diadakan oleh Depdiknas menunjukkan bahwa rata-rata nilai  guru dari hasil uji tersebut masih jauh dari harapan pemerintah. Apakah gurunya yang bodoh, ataukah zaman yang tidak bisa dikejar oleh kebanyakan kalangan guru? 
Coba kita ingat lagi kronologis rentetan pemikiran masyarakat tentang guru. Dahulu, ada ungkapan yang kita kenal, guru adalah orang yang digugu dan ditiru. Pada masa kolonial, masyarakat sangat percaya dan yakin akan tindakan yang dilakukan guru. Guru sering dijadikan rujukan untuk peristiwa atau masalah yang terjadi pada masa itu. Pada masa Orde Baru pun, guru masih sangat dihormati. 
Namun, zaman sekarang sering terjadi guru makhluk bodoh dan tidak pantas mengajar di depan kelas. 

Sama dengan pandangan siswa terhadap guru. Pada zaman dahulu mereka sangat hormat kepada guru. Murid lebih percaya kepada gurunya daripada orang tuanya. Lalu, mengapa sekarang berubah? Dapat kita buat sedikit hipotesis bahwa guru banyak yang ketinggalan dalam mengikuti zaman. Tahun delapan puluhan sumber utama infomasi adalah guru dan televisi. Pada masa itu, televisi yang ditonton adalah TVRI. TVRI selalu sarat dengan berita positif dan sarat informasi. Zaman sekarang, guru-guru baru  bermunculan dalam bentuk internet dan  televisi dengan berbagai saluran. Anak sudah lebih cepat menangkap informasi daripada gurunya. Tampilan guru-guru baru pun lebih menarik daripada guru yang berdiri di depan kelas dan berceramah sampai mulutnya berbusa. Anak-anak lebih tertarik pada facebook daripada memperhatikan gurunya. 
Karena paradigma berpikir tentang perubahan zaman masih banyak belum berubah, guru sering terheran-heran dengan ketidakmampuannya dalam menarik minat siswa sedangkan siswa heran mengapa guru tidak bisa memahami apa yang mereka inginkan. Satu hal yang harus dipahami guru bahwa zaman sudah berubah dan guru harus mengikuti perubahan itu.  Jangan memaksa anak untuk mengikuti gaya guru. Ikutlah mengalir bersama zaman. Namun, guru-guru dalam bentuk multimedia ini menyisakan satu masalah. Orang-orang yang menggilainya tidak menyukai kegiatan membaca guru.

Data statistik UNESCO 2012 yang menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Angka UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja. Sedangkan Malaysia sudah 86,4 persen. Pastinya, salah satu pihak yang berkontribusi untuk rendahnya minat baca itu adalah kalangan guru. 
Kesadaran akan kesalahan cara pandang bangsa ini terhadap pentingnya membaca ini kini mulai muncul melalui kegiatan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Harus diingat pepatah yang mengatakan guru kencing berdiri murid kencing berlari. Jika gurunya malas membaca, siswa akan lebih tidak suka membaca. Jadi, gerakan ini harus dipahami sebagai kegiatan untuk semua anggota komunitas sekolah termasuk guru, bukan hanya untuk siswa.

REQUIEM


                                                                Biarkan semua seperti seharusnya
Tak kan pernah jadi milikku
Peter Pan


(“Ayah, kau sudah lelah,” ucapmu sayup-sayup)
Tenanglah Dik, kita akan segera sampai di tujuan
Kubawa engkau ke delapan penjuru mata angin menghindar
kegetiran yang mendesing di atas kepala kita.

Walau takdir berderap menghunus ajal mengancammu
Kubuka dada menentangnya
Bila kau mau biarlah tubuh tuaku menjadi tameng buatmu

Sungguh berduri jalan yang harus kita tempuh, dik
Tak tega aku membopong tubuhmu yang ringkih terguncang-guncang

Tapi tekadku hanya satu
Kita akan siasati ruang dan waktu
Kita akan senandungkan harapan itu bermil-mil jaraknya

(“Ayah, aku sudah lelah,” ucapmu sayup-sayup)
Dan aku terhenyak
Kata-katamu mengerem kesadaranku dari pelarian
Selintas engkau kulihat terseret-seret mengikutiku
Akhirnya aku sepakat untuk tak melanjutkan perjalanan
Dan waktu pun memperlambat pengejarannya
Membiarkan aku memandangmu untuk terakhir kali

Selamat jalan sayang
Biar kutenangkan diriku
Sambil memandang kepekatan yang menganak sungai

Perlahan maut mendekapmu dengan iba
Dari atas pangkuanku
“Ia sangat menyayangimu,” ucapnya pelan
“Maka, relakanlah”

GURU YANG PEMBELAJAR (Jeruk Makan Jeruk?)


Judul yang dikemukakan pada tulisan ini menyiratkan dua hal yang bertentangan (paradoksal). Haruskan guru yang seharusnya mentransfer ilmu kepada orang lain juga menjadi pihak yang menerima ilmu? Haruskah subjek sekaligus bisa juga menjadi objek? Atau dalam bahasa yang lebih ngepop sering diucapkan Joshua dalam iklan, “Masa jeruk makan jeruk?”

Di dalam psikologi, kita mengenal istilah alam bawah sadar. Dalam www.akuinginsukses.com dijelaskan bahwa alam bawah sadar bisa dianalogikan sebagai sebuah bank memori yang sangat besar. Kapasitasnya hampir tak terbatas. Tugasnya adalah untuk memastikan bahwa kita merespon persis seperti apa yang kita programkan. Alam bawah sadar membuat apa yang kita katakan dan lakukan sesuai dengan pola konsep diri kita. Secara bawah sadar pula kadang ada guru yang berpikir bahwa yang bertugas menyampaikan ilmu adalah guru, sedangkan belajar adalah tugas siswa. Konsep bawah sadar ini juga akan mempengaruhi tindakan dan pola pikir sadar. Hal ini menjadikan guru cepat puas dengan ilmu yang dimiliki maupun cara mengajarkannya tanpa menyadari bahwa dunia sudah berubah.  Apalagi jika guru tersebut berada pada lingkungan yang statis sehingga  tidak mensyaratkan peningkatan kualitas siswa secara signifikan sedangkan siswa telah memiliki “guru-guru lain” yang diwakili oleh media elektronik dan internet.  Sungguh celaka, murid telah melangkah jauh, sedangkan guru masih berjalan di tempat yang sama.

Data Kementrian Pendidikan Nasional Tahun 2015 lalu menunjukkah bahwa nilai rata-rata Uji Kompetensi Guru secara nasional adalah 56,69. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada peningkatan nilai dari tahun sebelumnya yang hanya 47.  Tentu nilai tersebut belum memuaskan pemerintah.  Oleh karena itu, pemerintah terus menaikkan nilai ambang batas atau nilai ketuntasan minimal menjadi seperti yang diharapkan pada tahun 2019 yaitu 80.

Apakah hasil UKG telah mencerminkan kemampuan guru secara utuh? Hal itu tentu akan selalu menimbulkan pro dan kontra  dan diskusi yang panjang. Tidak ada alat uji yang secara sempurna yang dapat memetakan kemampuan secara utuh seperti halnya tidak ada pisau yang dapat memotong semua benda. UKG yang dilaksanakan mungkin ada kekurangan, tetapi apakah guru dapat menyalahkan nilai yang kurang kepada alat tes? Diperlukan kedewasaan  dalam mengambil sisi positif dari hal ini.

Program guru pembelajar yang digagas pemerintah harus disambut baik oleh para guru. Program Guru Pembelajar adalah program peningkatan kompetensi bagi guru yang melibatkan partisipasi publik meliputi pemda, ormas, orang tua siswa, serta dunia usaha dan dunia industri dalam bentuk kegitan pendidikan dan latihan, kegiatan kolektif guru, dan kegiatan lain yang mendukung. Visi misi Kemdiknas 2015-2019 mengisyaratkan peran vital guru. Jabatan guru harus terus berkembang menjadi profesi yang bermartabat dan tidak dianggap remeh oleh pihak lain. Konsekuensinya, sistem pembinaan dan pengembangan keprofesian guru yang berkelanjutan harus terus diikuti. Suka atau tidak, guru harus terus meningkatkan kemampuan mereka terutama dalam bidang profesional, pedagogi, dan kemampuan Teknologi Informasi dan Komunikasi. 

Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Demikian arif para tetua kita dalam menekankan betapa pentingnya menuntut ilmu. Antusiasme harus ditumbuhkan karena tidak ada kata selesai dalam belajar. Anggap saja nilai UKG dan kemampuan guru yang sesungguhnya tidak berbanding lurus. Anggap saja nilai yang kurang memuaskan tidak mencerminkan kemampuan guru yang sesungguhnya, tetapi meningkatkan nilai UKG hukumnya wajib karena hal itulah alat ukur yang digunakan oleh pemerintah dalam menilai kompetensi guru.

Untuk meningkatkan level kompetensi  guru, hal utama yang harus dilesapkan  ke dalam alam bawah sadar adalah  niat untuk mau belajar, baik untuk yang mendapatkan nilai UKG tinggi maupun yang mendapatkan nilai UKG rendah. Jika alam bawah sadar telah menerima perintah untuk mau belajar, seluruh jaringan tubuh kita akan bersatu dan menyiapkan kondisi-kondisi kondusif untuk belajar. Semua rasa malas atau kesulitan ketika menuntut ilmu akan dapat diatasi. Apalagi di dalam agama,  menuntut ilmu hukumnya wajib dan berpahala jika dilakukan dengan ikhlas. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Ilmu dan pahala didapatkan dalam waktu yang bersamaan. Anggap saja nilai rata-rata UKG tahun lalu sebagai sebuah kegagalan. Jangan takut untuk gagal, karena dengan gagal, akan diketahui jalan untuk menjadi berhasil. Seperti ucapan Thomas Paine yang dikutip oleh Esep Muhammad Zein, seorang penulis dan praktisi pendidikan. “Manusia sejati selalu tersenyum ketika menghadapi masalah, menghimpun kekuatan dalam kesedihan, dan mengasah keberanian dengan refleksi diri.”

JIKA GILA SUDAH MELEKAT, TAHI KUCING PUN TERASA COKLAT


Tadi di TV diberitakan sebuah peristiwa, 3 orang dirawat dan 1 orang tewas karena menenggak minuman keras oplosan. Sudah sering kita dengar atau baca kabar seperti ini. Namun, bagi saya ini hal yang luar biasa. Mulanya, minuman keras digunakan orang untuk menghangatkan tubuh akibat rasa dingin yang sangat, Kini, fungsinya berubah. Orang mau bersusah payah untuk kehilangan kesadaran. Bahan- bahan pembuat miras oplosan sering membuat kita tersenyum sambil mengernyitkan dahi. Tersenyum karena tidak menyangka ada orang yang mau “gila” dan mengernyitkan dahi karena heran mengapa ada orang yang mau mencampur bahan-bahan yang aneh dan tidak masuk akal. Bahan-bahan yang digunakan di antaranya minuman beralkohol tinggi, obat sakit kepala, sampai dengan losion anti nyamuk.  Nyamuk saja tidak suka, mengapa manusia mau bersusah payah mencari dan membeli bahan  oplosan itu untuk melupakan kenyataan. Kalau banyak orang yang mau tidak sadar, mengapa tidak banyak orang mau masuk ke rumah sakit jiwa. Bukankah kegilaan yang mereka cari. Seperti dikatakan dalam ungkapan, jika gila sudah melekat, tahi kucing pun akan terasa coklat.


Kenyataan itu bermacam-macam rasanya. Ada manis, pahit, asin, bahkan tidak ada rasanya alias datar.  Hal inilah yang kalau dirasakan akan membuat perjalanan hidup kita menjadi hidup. Seperti makanan, rasanya harus pas.  Tidak mungkin hidup itu terasa selalu menyenangkan dan pastilah hidup itu tidak selalu membuat kita resah atau sedih. Untuk kaum muslim, atau barangkali ada di agama lain ajaran yang mengatakan bahwa di dalam kesukaran ada kelapangan. Untuk orang-orang tertentu, permasalahan itu menjadikan kehidupan mereka gelap. Masalahan ini mungkin terasa terlalu lama dialami. Oleh karena itu dicarilah cara instan. Mereka mencoba untuk melenyapkan problem dengan menghilangkan kesadaran melalui minuman keras atau obat terlarang. Apakah dengan minum masalah akan hilang?  Kalau bisa, orang gila akan mencolek dan mengatakan, “Bro, gantian dong, gua juga pengen mabok!”

Link soal Formatif untuk ulangan susulan diskusi dan cerita inspiratif (boleh open book) https://drive.google.com/open?id=126qDce3xdsowKf...