Senin, 14 Mei 2018

TERCYDUK

Bel tanda istirahat berakhir telah berbunyi. Hmm.. satu jam lagi waktuku  di kelas 7C. Sebelum istirahat siswa sudah diberi tugas mengerjakan latihan di buku paket. Jadi biarlah kubiarkan mereka sebentar mengerjakannya. Lima menit kemudian aku baru masuk kelas. Tidak seperti biasanya, kelas agak ribut. 

“Ada apa ini?” tanyaku di dalam hati.
Belum juga aku duduk, seorang siswi bernama Ayu berteriak, “Pak, pulpen saya hilang!”
Ya beginilah rasanya kalau mengajar kelas 7. Terkadang sifat mereka masih kekanak-kanakan. Untuk urusan kecil yang menurutku sepele akan menjadi besar untuk mereka. Rupanya tadi mereka sedang mencari pulpen yang hilang. Aku harus sabar menghadapi mereka. 
“Mungkin kamu lupa menaruhnya,” kataku tenang. 
“Saya kan tadi lagi ngerjain tugas, terus ke wc dulu. Eh pas pulang, pulpen saya hilang Pak.”
“Iya Pak, saya saksinya. Tadi saya nemenin dia ke wc’ ujar temannya, Cita . 
“Coba tadi yang ambil pulpen tolong kembalikan, ucapku sambil tersenyum. 
“Ah..paling juga ada yang iseng,” kataku dalam hati.

“Ga akan ada yang ngaku Pak!” ujar seorang siswa.
“Iya Pak,” jawab temannya yang lain.
“Pak pulpen saya juga hilang.” 
“Iya Pak saya juga.”
Kelas menjadi gaduh.
“Sabar...,”  kataku, “coba ada berapa orang yang kehilangan pulpen?” tanyaku.
Tak dinyana ternyata ada enam orang yang mengaku kehilangan pulpen. Kelas kembali ribut.
Wah... alamat terganggu nih kegiatan belajar mengajarku. Muncul dilema yang banyak dihadapi oleh guru. Mau meneruskan materi atau menyelesaikan masalah ini. Tapi, bukankah ini adalah bagian dari belajar juga. Ini bagian dari membangun karakter yang harus aku pahamkan juga kepada anak-anak. Belajar ilmu itu tidak hanya kognitif saja. Justru belajar tentang karakter jujur, mau bertanggung jawab ini yang menurut para pakar pendidikan yang harus ditanamkan kuat-kuat kepada para siswa. 
Timbul ideku untuk membuat suasana seperti di sebuah pengadilan.

“Hei... Kalian mau menemukan orang isengnya tidak?”
“Mau Pak!”
“Kalau begitu jangan ribut ya..!”
Akhirnya suasana terkendali. Murid-muridku agak tenang.
Aku duduk di meja guru sambil memegang penghapus white board. Aku katakan bahwa aku akan menjadi hakim sekaligus jaksa dalam pengadilan kelas.
“Tadi kamu lihat siapa yang mengambil pulpen?” Tanyaku kepada anak yang pertama mengaku kehilangan.
“Nggak sih Pak, tapi kata temanku Valen, si Rafi yang ambil.”
“Betul begitu Valen?” 
“Tadi sih gak liat. Kemarin dia yang ambil pulpen aku Pak.”
“Itu kan kemarin. Aku kan udah ngasih lagi pulpennya ke kamu!” kata Rafi membela diri.
“Ya udah rafi kamu maju ke depan kelas,” kataku sambil tersenyum.
Akhirnya dengan sedikit bujukan dia mau maju ke kelas.
Kelas kembali agak ramai
“Harap tenang, pengadilan akan dilanjutkan,”  kataku sambil mengetuk meja dengan penghapus tadi.
Ruangan tenang lagi.

“Selain Rafi, siapa lagi yang kalian curigai?” tanyaku.
Akhirnya muncul beberapa nama disebutkan.
Ketika namanya tersebut Onsu berkata, “Itu sih fitnah Pak..!”
“Kalau begitu tenang saja, nak. Kamu berhak membela diri,” kataku.
Satu hal yang perlu dicatat di dalam peristiwa ini bahwa mereka tidak menunjukkan wajah yang tegang. Ini yang aku mau. Siapa pun yang ada di dalam ruangan itu tidak boleh merasa ditekan. Ini tujuan dari permainan di pengadilan ini.
Setelah enam siswa yang disebut berdiri di depan kelas, mulailah tugasku sebagai seorang jaksa sekaligus detektif.
“Sule, jelaskan kepada teman-temanmu mengapa kamu bukan pencuri pulpen Ayu,” kataku.
Sambil cengar-cengir Sule menjawab, Itu udah lama Pak. Udah dikembaliin. Ayu-nya aja yang masih dendam.”
“Betul ayu begitu?”
“Tapi kan itu minggu yang lalu.”
Ayu tersenyum malu.
“Sule kamu boleh kembali ke tempat duduk,” kataku, “Andre tolong jelaskan!”
“Tadi saya cuma lihat-lihat wadah pensil Raisa Pak.”
“Hu....modus!!”  teriak temannya.
“Ih bener Pak.”
“Tenang semua,” kataku kembali sambil mengetukkan penghapus ke meja.
“Raisa, betulkah  Andre hanya melihat-lihat tempat pensil kamu?”
“Iya Pak, tapi kemarin dia gak ngembaliin pulpen yang dia pinjem.
“Kapan?”
“Kemarin.”
“Enggak.”
“Iya bener”
Hadeeuh... dasar anak anak aada saja debat kusirnya
“Bagaimana menurut kalian apakah Andre masih bisa dicurigai?”
“Masih Pak......!!” jawab teman-temannya.
“Ya sudah. Andre kamu berdiri dulu di depan kelas.”
“Hu...... “ teriak temannya.
“Semua harap tenang,” kataku.
Ada dua orang yang aku suruh duduk kembali ke kursi karena alasan yang aneh. Mereka para penuduh ingin dua temannya maju ke depan kelas karena keduanya adalah anak pendiam, jarang maju ke depan kelas. Itu diketahui berdasarkan interogasiku dengan mereka dan yang pihak menuduh. 
“Ingat ya.. menuduh tanpa dasar itu sama dengan memfitnah. Ingat juga fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Artinya memfitnah itu derajatnya lebih jelek daripada orang yang membunuh. Membunuh adalah perbuatan tercela. Akan tetapi memfitnah lebih tercela lagi,” kataku sedikit berceramah.

Singkat kata tertuduh mengerucut pada dua orang, Rafi dan Syafri. Melalui beberapa pertanyaan pancingan, akhirnya Rafi minta maaf dan berjanji akan mengambalikan pulpen yang ia pinjam.
Tinggal satu lagi Syafri. Sebelumnya aku sudah curiga kepadanya karena dia anak yang agak banyak iseng.
“Apakah akan ada yang mau menjadi saksi untuk Syafri?” tanyaku.
Satu orang siswa mengangkat tangan. “Saya Pak.”
“Oh, silakan maju ke depan.”
“Ini Pak,” katanya sambil menyerahkan sekitar tujuh buah pulpen. 
“Ini punya siapa?”
“Ini pulpen yang diambil Syafri dari teman-teman.”
“Kok, kamu tahu?”
“Soalnya saya kan teman ssebangkunya. Pulpen saya juga pernah hilang. Tapi besoknya ada lagi. Tadi saya curiga, jadi saya buka tasnya.”
“Oh bagus nak, berarti kamu berani menegakkan kebenaran.”
“Syafri, sekarang bagaimana jawabanmu setelah mendengar kata-kata temanmu?”
“Hehe.. Iya Pak iseng.”
“Iseng? Kamu senang lihat anak perempuan panik karena kehilangan pulpen ya..”
“He..he.. jawabnya sambil tertunduk malu.”
Akhirnya Syafri tercyduk, begitu istilah generasi zaman now. Mulailah aku membahas tentang perbuatan-perbuatan  tercela yang melanggar norma adat dan agama. Tetapi ucapanku ditujukan untuk semua siswa. Jadi tidak ada yang merasa disudutkan. Semoga dengan demikian semua paham dengan konsep kejujuran yang aku jelaskan.
“Sekarang sebagai konsekuensi dari kejahilan kamu, apa yang bisa kamu lakukan,” tanyaku.
“Joget Pak!!” teriak teman-temannya.
“Jangan Pak, push up aja ya,” jawab Syafri memelas.
“Boleh... mau berapa kali?”
“Sepuluh Pak,”
“Jangan Pak, terlalu sedikit.  Tiga puluh kali aja...” teriak teman-temannya.
“Iya deh.. saya mau 30 kali push up.”
Akhir cerita, saya menjelaskan bahwa perlunya pemikiran jernih sebelum seseorang bertindak. Jangan karena iseng, orang tidak mempercayai kita. Sekali lancung di ujian, seumur hidup orang tidak akan percaya, begitu kata pepatah kita. Pembicaraan pun meluas sampai dengan hukum agama dan nilai-nilai di masyarakat. 
Kasus ditutup. Bel pergantian jam berdentang. Satu pembelajaran telah aku tanamkan meskipun materi pelajaran jadi tersendat. Semoga mereka mengambil hikmah dari kasus ini.
11/5/2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Link soal Formatif untuk ulangan susulan diskusi dan cerita inspiratif (boleh open book) https://drive.google.com/open?id=126qDce3xdsowKf...